12/12/08

PARTAI POLITIK LOKAL (PARLOK) DI ACEH HANYA MENGAMBIL KEUNTUNGAN SEMATA DARI PROSES PERDAMAIAN ACEH.

Keberadaan Partai Politik Lokal di Aceh hanya mengambil keuntungan/mamfaat semata dari proses Perdamaian Aceh antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Fillandia 15 Agustus 2005, kecuali Partai ACEH (PA), Partai yang mengikat serta bertanggungjawab terhadap Perjanjian Damai Aceh. PA didirikan berdasarkan amanah MoU Helsinki oleh para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Para politisi-politisi baru atau petualang-petualang Politik baru melalui Partai Politik Lokalnya hanya melirik dan berebut pada salah satu point saja dari MoU Helsinki, yaitu Point 1.2.1 tentang pendirian Partai Politik Lokal di Aceh, point 1.2.1 MoU Helsinki inilah yang diperebutkan, kerena point ini dianggap dapat memberikan keuntungan politis bagi mereka atau kelompoknya untuk merebut "Kekuasaan", dengan mendirikan partai-partai Politik Lokal sebagai kenderaan politiknya. Sementara banyak sekali point-point yang lain dalam MoU Helsinki yang sebenarnya sangat besar memberikan mamfaat bagi rakyat Aceh secara umum tidak pernah mereka perhatikan, karena tidak bermamfaat untuk mereka sendiri atau kelompoknya. Padahal kalau mereka atau kelompok mereka benar-benar ingin membangun Aceh dan membawa Aceh ke arah yang lebih baik, maka seharusnya mereka dan kelompoknya melihat MoU secara utuh (tidak sepotong-potong) dan ikut berperan aktif dalam mengawal UUPA agar sesuai dengan MoU, tidak hanya mengawal Point 1.2.1 saja.


Kita semua sudah melihat apa yang diperjuang GAM melaui sayap Militernya Teuntra Neugara Atjéh (TNA) dulu hingga terwujudnya sebuah perjanjian damai untuk Aceh yang diatur dalam MoU Helsinki itu bukan untuk GAM maupun TNA, akan tetapi semuanya untuk Aceh secara keseluruhan, TNA berperang mengorbankan harta, keluarga, serta mempertaruhkan darah dan nyawa semata-mata untuk Aceh. Apa yang terhasilkan memalui perjuangan mereka yang termaktub dalam MoU Helsinki dan kemudian diwujudkan kadalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) “yang dipihak GAM sendiri belum menerima dan tidak juga menolak, namun perlu direvisi” itu semua untuk Aceh, tidak ada satu point pun untuk kepentingan GAM. TNA yang pasca MoU Helsinki berobah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dulunya berjuang dengan mengorbankan segalanya juga tidak pernah menuntut adanya sebuah point atau pasal dalam UUPA yang mengatur tentang mereka. jadi nyata memang apa yang mereka perjuangkan bener-benar untuk kesejahteraan dan kemakmuran Aceh.

Apa alasan atau dasarnya bagi Partai Politik Lokal (Parlok) di Aceh (selain PA) yang selama ini berkoar-koar sebagai pejuang atau pembuat perubahan untuk kemakmuran dan kesejahteraan Rakyat Aceh. padahal mereka, baik indifidu maupun lembaga hanya mempergunakan hasil dari perjanjian damai untuk Aceh atau buah dari perjuangan dan pengorbanan GAM dengan memamfaatkan Point 1.2.1 MoU Helsinki sebagai modal dan landasan berpijak untuk merebut kekuasaan melaui Partai Politik Lokal.

Para Pimpinan dan Pengurus Parlok di Aceh saat ini sedang berteriak-teriak kalau mereka atau Parloknya sebagai pembawa dan pembuat perubahan untuk Aceh, atau seolah-olah sebagai panglima diwaktu perang, padahal dia sendiri tidak pernah ikut berperang. Saat ini menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, hal ini semakin diperparah dengan munculnya Caleg-Caleg dari Parlok tadi, dimana mereka bukan berlatar belakang dari kelompok pergerakan atau organisasi pembuat partai tadi, mereka dipilih hanya untuk menutupi kekerangan personil pengurus di tingkat kepengurusan tertentu, yang kemudian dimunculkan sebagai Caleg dari Parlok tersebut. Para Caleg-Caleg inilah nantinya akan bergentayangan disetiap tempat dengan memposisikan diri sebagai Panglima di atas Panglima, bisa dibayangkan apa jadinya nantinya...... dan apa yang akan terjadi untuk Aceh nantinya bila mereka terpilih menjadi Anggota Parlemen baik di DPRK atau DPRA nantinya???.

Maka dari itu, kita semua khususnya masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang akan melihat, menikmani dan menjalani hidup dan kehidupan di Nanggroe Aceh yang secara otomatis tidak terlepas dari konsekwensi hasil kerja Parlemen Aceh nantinya agar benar-benar memamfaatkan momentum ini, memamfaatkan ruang yang telah dibuka dan terbuka untuk Aceh secara Umum. kita semua harus jeli melihat siapa sebenarnya yang bisa membawa perubahan untuk Aceh.
Baca Lebih Lanjut...

05/12/08

LANDASAN HUKUM PARTAI POLITIK LOKAL.

Perjanjian perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM Tgl 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, yang kemudian poin-poin perjanjian tersebut dituangkan dalam Nota Kesepamahan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) merupakan basis politik lahirnya partai politik lokal di Aceh
MoU Helsinki
Bagian I : Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.
Sub Bagian I.2 : Partisipasi Politik
Poin. I.2.1 :
“…. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI dalam tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak penandatangan nota ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai-partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR..”



Inilah dasar hukum keberadaan partai politik lokal (lokal) di Aceh :

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

3. Qanun Nomor 8 Tahun 2007 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dan Partai Politik Lokal.

4. Qanun tentang Partai Politik Lokal sebagai Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK di Aceh

5. Peraturan Gubernur tentang biaya penelitian dan Verifikasi Partai Politik Lokal

6. Peraturan Bupati/Walikota tentang Biaya Penelitian dan Verifikasi Partai Politik Lokal.

7. Peraturan-peraturan KIP :
a. Tatacara Penelitian dan Penetapan ke absahan syarat-syarat Partai Politik Lokal sebagai peserta Pemilu.
b. Pelaksanaan dan waktu verifikasi Partai Politik Lokal untuk mengikuti Pemilu.
c. Penetapan dan pemunguman Partai Politik Lokal sebagai peserta pemilu.
d. Tatacara pengajuan bakal calon anggota DPRA dan DPRK.
e. Tatacara verifikasi bakal calon anggota DPRA dan DPRK.

8. Ketetapan-Ketetapan KIP :
a. Pedoman tehnis pencalonan anggota DPRA dan DPRK dari partai politik lokal.
b. Jadwal waktu pendaftaran partai politik lokal.

Baca Lebih Lanjut...

04/12/08

DISKRIMINASI POLITIK TERHADAP PARTAI ACEH (PA)

Sejak hari Senin, 01 Desember 2008, beberapa Koramil dalam Kabupaten Pidie telah melakukan Diskriminasi Politik kepada Partai Politik di Kabupaten Pidie, khususnya terhadap Partai ACEH. Mereka mengintruksikan untuk menurunkan/mencabut atribut (umbul-umbul dan bendera) Partai Aceh yang terpasang di Gampong-Gampong melalui Geusyik-Geusyik Gampong. Pada Kecamatan – Kecamatan tertentu juga disampaikan melalui Pengurus Kecamatan (DPS) Partai ACEH.

Atribut-atribut Partai ACEH yang di perintahkan untuk diturunkan adalah atribut (umbul-umbul dan bendera) yang terpasang di jalan-jalan dalam Gampong dan di pasar-pasar Kecamatan dalam Kabupaten Pidie, dimana lokasi-lokasi pemasangan atribut tersebut bukan pada lokasi terlarang (tidak dibolehkan) dan bukan pada fasilitas umum, karena ketentuan yang dikeluarkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Pidie, lokasi/tempat yang tidak diperbolehkan memasang atribut Partai Politik adalah pada jalan-jalan protokol dan fasilitas umum.

Sesuai ketentuan yang berlaku, dan atas dasar aturan yang dikeluarkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Pidie tentang tempat/lokasi larangan pemasangan atribut Partai Politik dalam Kabupaten Pidie, dan berdasarkan Surat Pemberitahuan dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Pidie tertanggal 06 Oktober 2008 tentang larangan pemasangan atribut Partai Politik di jalan-jalan protokol dalam Kabupaten Pidie, yang disampaikan kepada semua pengurus Partai Politik peserta PEMILU tahun 2009 yang ada di Kabupaten Pidie. Maka hari itu juga, tanggal 06 Oktober 2008 pukul 23.00, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai ACEH Kabupaten Pidie menurunkan/memindahkan semua umbul-umbul dan bendera-bendera Partai ACEH yang terpasang pada tempat/lokasi-lokasi yang tidak diperbolehkan (terlarang).

Pada dasarnya, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai ACEH Kabupaten Pidie bersama dengan seluruh Dewan Pimpinan Sagoë (DPS) Partai ACEH ditiap Kecamatan dalam Kabupaten Pidie sudah menta’ati ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang Partai Politik dan Pemilu, dan tidak menyalahi dari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP), Kenapa masih ada pihak-pihak yang tidak senang dengan Partai Politik Lokal di Aceh, padahal Partai Politik itu sendiri disahkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Negara Indonesia, negara yang menjunjung Demokrasi.

Padahal menurut ketentuan, yang mempunyai kewenangan untuk mengatur Partai Politik adalah Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) yang menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Partai Politik peserta PEMILU.

Sangat disayangkan, sekarang ada pihak-pihak tertentu (pihak-pihak yang tidak ada urusan dengan Partai Politik dan Pemilu) sekarang sudah memposisikan diri melebihi Komisi Independen Pemilihan (KIP), dimana pihak tersebut menyuruh Geusyik-Geusyik untuk menurunkan atribut partai ditempat-tempat yang tidak melanggar dengan ketentuan. Sementara di Kota Sigli, pada jalan-jalan protokol (lokasi yang sudah jalas-jalas dilarang untuk pemasangan atribut Partai Politik), masih banyak sekali atribut-atribut Partai yang belum dipindahkan oleh pengurus Partai Politik yang bersangkutan, ini sudah melanggar ketentuan, kenapa mereka tidak mempermasalahkan yang nyata-nyata melanggar ketentuan?. Mengapa yang legal dipersoalkan??.

Baca Lebih Lanjut...